Sabtu, 02 April 2011

MAKAM BATARA KATONG, PONOROGO

Posted by infowisata01.blogspot.com 17.12, under |

Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.
Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.
Berdasarkan catatan sejarah keturunan benerasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).
Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi ‘protes’ dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.
Tokoh yang terakhir ini, kemudian ‘desersi’ untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.
Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.
Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus ‘kejayaan’ Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan ‘investigasi’ terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.
Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang ‘putra terbaiknya’ yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.
Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.
Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan ‘akal cerdasnya’ Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di ‘iming-imingi’ akan dijadikan istri.
Kemudian Niken Gandini inilah yang ‘dimanfaatkan’ Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.
Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah ‘dihilangkannya’ Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.
Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.
Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.
Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.
Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ‘ulama.
Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 Çaka atau tahun 1496 M.
Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda pubakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 Çaka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Batoro Katong dikenal memiliki sebuah pusaka tombak bernama Kyai Tunggul Naga. Tombak ini memiliki pamor kudung, tangkainya dari sulur pohon jati dan terdapat ukiran naga, dengan ukuran panjang kira-kira 60 cm.
Ada dua versi tentang asal muasal tombak pusaka tersebut. Yang pertama versi keturunan Demang Kutu Ki Ageng Suryangalam dan versi Babad Ponorogo.
Versi keturunan Demang Kutu, menyebutkan bahwa tombak Kyai Tunggul Naga dulunya milik Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu. Dimana, Demang Suryangalam yang sebelumnya pujangga di istana Majapahit pergi meninggalkan istana karena kecewa. Nasehat-nasehatnya untuk menata negeri Majapahit tidak didengarkan oleh Prabu Kertabhumi. Menjelang runtuhnya kerajaan besar itu, keadaan negeri semrawut, bobrok. Banyak gerakan separatis ingin memisahkan diri dari Majapahit.
Sikap oposan Demang Suryangalam ini membuat Prabu Kertabhumi marah, ia kemudian menyuruh salah seorang puteranya yang bernama Raden Batara Katong untuk menangkap Demang Suryangalam. Setelah berhasil mengalahkan Demang Kutu, Raden Batara Katong kemudian memiliki tombak Kyai Tunggul Naga. Adapun tombak itu aslinya berasal dari Tuban, pusaka Adipati Tuban Ranggalawe. Tombak Kyai Tunggul Naga dikenal sebagai pusaka yang ampuh.
Sedang menurut versi Babad Ponorogo, tombak Kyai Tunggul Naga diperoleh Batara Katong dari hasil bersemadi di sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang disebut ara-ara. Waktu itu Ponorogo masih disebut Wengker. Raden Batara Katong ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji dan Jayadipa. Dari ara-ara itu didapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk.
Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten. Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact budaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai ‘totems’, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.
Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari ‘alam bawah sadar’ masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam ‘hiperealitas’, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat. Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.
Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ‘ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo.
Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.

MAKAM SUNAN AMPEL, SURABAYA

Posted by infowisata01.blogspot.com 16.58, under |

Kawasan wisata ziarah religi Sunan Ampel, di Surabaya, Jawa Timur. Tempat ini banyak didatangi para peziarah yang ingin berkunjung ke makam Sunan Ampel. Makam Raden Muhammad Ali Rahmatullah atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel, terletak di belakang mesjid. Untuk mencapai makam harus melewati sembilan gapura, sesuai arah mata angin, yang melambangkan wali songo atau sembilan wali. Tiga gapura merupakan bangunan asli peninggalan Sunan Ampel. Makam Sunan Ampel bersebelahan dengan makam istri pertamanya, Nyai Condrowati, yang merupakan keturunan Raja Brawijaya Lima.
Di komplek makam ini terdapat juga makam para pengawal dan pengikut Sunan Ampel. Diantaranya makam Mbah Soleh yang berjumlah sembilan. Konon Mbah Soleh meninggal sembilan kali, karena itu makamnya ada sembilan. Selain itu, terdapat juga makam Mbah Bolong. Semasa hidupnya Mbah Bolong yang memiliki nama asli Sonhaji ini, ahli dalam menentukan arah mata angin. Terutama untuk menentukan arah kiblat. Di tempat ini juga terdapat petilasan Sunan Kalijaga, yang ramai dikunjungi para peziarah.Wisata ziarah religi Sunan Ampel mulai digalakkan sejak tahun 1972, setelah diadakannya haul atau peringatan hari wafat Sunan Ampel untuk pertamakalinya. Salah seorang peziarah bernama Umiyana. Di tempat ini juga terdapat mesjid peninggalan Sunan Ampel. Bangunan utamanya sudah empat kali dipugar. Awalnya Sunan Ampel mendirikan mesjid ini di atas lahan seluas dua ribu meter persegi pada tahun 1421 Masehi. Setelah dipugar, komplek mesjid Sunan Ampel kini memiliki luas sekitar setengah hektar. Keunikan dan nilai sejarah mesjid ini terletak pada 16 tiang penyangganya yang terbuat dari kayu jati berukuran 17 meter tanpa sambungan.Tiang penyangga ini hingga kini masih kokoh, padahal umurnya sudah lebih dari 600 tahun. Di tiang penyangga terdapat ukiran-ukiran kuno peninggalan zaman Majapahit yang bermakna Keesaan Tuhan. Mesjid ini memiliki 48 pintu yang masih asli, dengan diameter satu setengah meter, dan tinggi dua meter. Bangunan lain yang menjadi ciri khas mesjid ini adalah menara setinggi 50 meter. Dahulu, menara ini berfungsi sebagai tempat azan. Di sebelah menara terdapat kubah berbentuk pendopo jawa, dengan lambang ukiran mahkota berbentuk matahari, yang merupakan lambang kejayaan Majapahit. Di tempat ini juga terdapat sumur bersejarah. Namun kini sudah ditutup dengan besi.Air sumur ini dipercaya memiliki kelebihan seperti air zamzam di Mekkah. Khasiatnya beragam, diantaranya dipercaya dapat menjadi obat. Para peziarah sering membawa air ini sebagai oleh-oleh.
Menurut juru kunci bernama HM Suryansyah, banyak peziarah percaya air sumur memiliki khasiat untuk menyembuhkan orang sakit. Benda lainnya yang masih tampak asli adalah Mihrab tempat Sunan Ampel memberikan ceramah semasa hidupnya. Mihrab ini sudah rapuh, sehingga tidak dipergunakan lagi.
Begitu pula dengan beduk kecil ini, sudah jarang dipukul. Karena usianya sudah ratusan tahun.Pada bulan ramadhan ini para peziarah semakin banyak yang datang. Mereka datang untuk mendo'akan Sunan Ampel, sekaligus menghormatinya, sebagai salah satu sunan yang menjadi penyebar agama Islam.

MAKAM SUNAN BONANG, TUBAN

Posted by infowisata01.blogspot.com 16.50, under |

Salah satu ikon wisata Religi di Tuban adalah makam Sunan Bonang. Seorang diantara 9 wali songo yang sangat terkenal di Tanah Jawa. Menurut beberapa sumber, Makam sunan bonang terdapat di beberapa tempat. Ada yang mengatakan di dusun Bonang Lasem kab. Rembang-Jateng, di pulau Bawean kab. Gresik-Jatim, di desa Singkal kab. Kediri-Jatim dan di Kelurahan Kutorejo kab. Tuban-Jatim.
Tetapi diantara ke empat lokasi tersebut, Makam sunan Bonang yang terdapat di kelurahan Kutorejo Tuban adalah yang paling banyak di kunjungi peziarah, baik yang berasal dari dalam negeri atau turis asing.
Hampir tiap hari, terutama pada hari-hari libur, makam ini selalu dipadati oleh ratusan bahkan ribuan peziarah. Oleh karenanya, Pemkab Tuban merasa perlu untuk membuatkan satu terminal khusus bagi para peziarah, yang terletak kurang lebih 500 meter dari lokasi makam. Hal ini dimaksudkan agar pengaturan lalu lintas peziarah dapat lebih terfokus sehingga tidak menimbulkan kemacetan di beberapa ruas jalan yang lain.
Sunan Bonang atau yang bernama asli Raden Makhdum Ibrahim, dikenal sebagai salah satu penyebar agama islam di Jawa. Merupakan keturunan dari Raden Rahmat dan Nyi Ageng Manilo. Nyi Ageng Manilo sendiri adalah Putri seorang Tumenggung Majapahit yang bernama Arya Teja yang pada waktu itu berkuasa di Tuban. Dalam melaksanakan dakwahnya, beliau selalu menggunakan cara-cara persuasif melalui pendekatan budaya lokal.  Sehingga menarik masyarakat sekitar untuk mengikuti ajakannya. Salah satu bukti pendekatan persuasive tersebut adalah Beliau menciptakan tembang Tombo Ati, yang sampai sekarang banyak dinyanyikan dan diaransemen oleh beberapa musisi tanah air. Menurut cerita sejarah, dalam berdakwah, Sunan Bonang sering menggunakan media bonang (salah satu jenis alat music khas Jawa/gamelan). Ini bisa dimaklumi, karena pada waktu itu, jenis kesenian semacam wayang kulit dan tayub, yang semuanya menggunakan gamelan, sangatlah digemari masyarakat. Dan lewat kesenian itulah, sedikit demi sedikit, nilai-nilai Islam dimasukkan dan hal-hal yang menyimpang dari kesenian-kesenian tersebut perlahan-lahan dihilangkan. Salah satu hal unik yang terdapat di makam Sunan Bonang dan bisa dianggap sebagai kenang-kenangan dari Beliau adalah adanya Tasbih Biji Pisang. Tasbih ini berwarna hitam, dan merupakan untaian biji pisang yang sudah dari sononya seperti sudah diiris dan diberi lubang. Buah pisang ini, kalau dikupas, isinya hanya biji-biji tasbih tersebut, nggak ada dagingnya. Begitu dikupas, anda tinggal merangkainya menjadi tasbih.  Ajaib bukan? Benar-benar ajaib. Makam Sunan Bonang, terletak dibelakang Masjid Agung Tuban. Jalan masuknya melalui Gapuro yang terletak di pojok Barat alun-alun Tuban. Begitu memasuki area makam tersebut, akan akan menjumpai berbagai macam piring kuno yang tertempel di dinding-dinding area makam. Disana juga terdapat sebuah masjid tua yang dibangun oleh Sunan Bonang sendiri, namanya masjid Astana. Masjid ini, dulunya dipakai sebagai pusat dakwah Islam oleh Beliau. Di depan masjid Astana, anda juga dapat menemukan peninggalan yang lain berupa tempat wudhu dari batu. Yang masih terawat sangat baik hingga saat ini. Jika anda berkesempatan berziarah ke Makam Sunan Bonang, setelah dari makam jangan lewatkan kesempatan untuk menikmati kemegahan Masjid Agung Tuban dan juga keunikan Goa Akbar. Dua lokasi tersebut sangat dekat dengan komplek Makam, dan telah menjadi trade mark tersendiri bagi kota Tuban.